Senin, 24 September 2012

Iklan dan Kekerasan Simbolik

Dosen : Endang Murwani
Penulis : Irvina Lioni Yuniasari (915090069)

Setiap waktu, kini kita tidak dapat terlepas dari iklan. Tatkala kita terbangun dari tidur dan langsung melihat telepon selular, seringkali kita melihat iklan yang tak sengaja melintas di media sosial atau pada kotak masuk pesan singkat. Ketika berangkat ke sekolah, kantor, atau kampus, berbagai bentuk iklan dapat kita lihat di sepanjang jalan. Mulai dari poster, flyer, billboard, dan lainnya. Tanpa disadari atau dalam kondisi tersadar.

Apakah anda menyukai iklan? Bagaimana pengaruh iklan terhadap kehidupan anda?

Untuk itu, kita bisa menyimpulkan bahwa kini iklan memang benar-benar telah mengepung kita. Dari segala penjuru, sepanjang waktu, dan bahkan ia mampu menembus hampir seluruh celah kehidupan setiap orang. Seakan-akan ia memang benar-benar ingin membius pikiran kita dengan pesan yang disampaikan. Ketika kita telah terbius, maka tergeraklah hati untuk membeli barang yang sempat kita lihat dan dengar melalui iklan. Walau barang tersebut sebenarnya bukanlah kebutuhan penting. Mungkin hanya sekadar untuk membangun gengsi.

Seperti yang telah kita tahu bahwa iklan merupakan bagian dari marketing dan promosi. Menurut pengertiannya, iklan merupakan salah satu bentuk penyampaian pesan dari suatu produk yang bertujuan untuk menggerakkan pembelian di benak konsumen. Dari suatu iklan, kita dapat mengetahui info tentang produk yang disampaikan. Namun sebenarnya, jika kita dapat menelaahnya lebih lanjut, terkadang ia juga mengkonstruksikan hal tertentu terhadap pemikiran konsumen. Ia dapat membentuk sistem nilai, gaya hidup, maupun selera budaya tertentu. Dari sinilah dapat kita temukan, bahwa iklan ternyata memiliki kekerasan simbolik.

Seperti apa sajakah kekerasan simbolik itu?

Cobalah anda bertanya kepada orang disekitar tentang definisi wanita cantik dan pria tampan. Apakah jawaban yang akan anda dapatkan?

Kecantikan dan ketampanan seseorang sebenarnya relatif, tergantung dari selera setiap orang yang berbeda-beda. Namun secara umum, kita dapat mengetahui bahwa secara fisik ada beberapa simbol yang dapat membedakan mana orang yang cantik atau tampan dan mana yang tidak. 

Banyak orang yang menganggap bahwa kecantikan seorang wanita dapat dinilai dan ditandai ketika ia berambut panjang, hitam, dan lebat. Tubuhnya harus seperti KUTILANG (kurus, tinggi, dan langsing). Sedangkan seorang pria tampan dapat didefinisikan tatkala ia memiliki badan six-pack. Mungkin beberapa dari anda menyetujui dengan apa yang telah disampaikan diatas. Jika benar, anda sebenarnya merupakan korban dari kekerasan simbolik iklan.

Salah satu iklan cetak sebuah sampo ternama. 

Definisi wanita cantik dan pria tampan sebenarnya dapat kita ketahui melalui media, khususnya iklan. Banyak iklan yang mempropagandakan pikiran konsumen dengan sesuatu yang menjadi gaya hidup baru. Contohnya, ada satu iklan susu kesehatan pria yang memiliki tagline "Kerempeng? Mana Keren!". Dari sinilah kini banyak pria yang berbondong-bondong untuk membentuk badan mereka melalui program gym dan meminum produk susu yang telah mereka lihat sebelumnya melalui iklan.

Iklan susu diet untuk wanitapun tak mau kalah. Seakan-akan ia membenarkan bahwa seorang wanita seharusnya mau berdiet demi bentuk badan yang bagus dan terlihat cantik. Sehingga mungkin kita dapat melihat tren diet pada masa sekarang. Mungkin anda adalah salah satunya.

Lihatlah beberapa iklan sampo untuk perempuan yang bisa anda saksikan di televisi. Model yang dipakai pasti yang berambut panjang, hitam, dan lebat. Hampir tidak ada satupun iklan sampo yang menggunakan model perempuan berambut kribo, keriting penuh, cepak, dan model rambut lainnya. Mengapa mereka serentak memakai model seperti itu? Ya tentu saja mereka ingin membius konsumen wanita bahwa cantik adalah ketika seseorang memiliki rambut panjang, hitam, dan lebat. Jika konsumen wanita menginginkannya, mereka bisa menggunakan produk sampo yang telah dilihatnya melalui iklan.

Tak salah jika banyak ilmuwan yang mendefinisikan iklan dalam berbagai fungsi. Menurut Pollay, iklan memiliki dua fungsi, yaitu Informasional dan Transformasional. Informasional dapat diartikan bahwa fungsi iklan sebagai pengantar info dari suatu karakteristik produk kepada konsumen. Sedangkan Transformasional  merupakan salah satu fungsi iklan yang dapat mengubah sikap yang dimiliki konsumen terhadap merk, pola belanja, gaya hidup, teknik-teknik mencapai sukses, dan lainnya.

Baudrillard mendefinisikan fungsi iklan sebagai suatu fenomena sosial bernama Consumer Society. Dimana objek dalam iklan tidak berdiri sendiri, melainkan dibentuk oleh sebuah sistem tanda. Contohnya, warga menengah Jakarta banyak sekali yang berwisata kuliner di mal-mal besar hanya untuk meningkatkan gengsi, bukan hanya sekadar untuk mengenyangkan perut.

Barthes menganalisa iklan sebagaimana layaknya seorang ahli liguistik. Ia selalu membongkar makna dari pesan pada imej dan teks. Sedangkan Bourdieu memahami iklan sebagai seluruh tindakan pendagogis (rumah, sekolah, kelas sosial tertentu dan media) atau sebagai sarana yang digunakan untuk melakukan tindakan pendagogis. Misalnya, wanita konglomerat identik dengan barang-barang bermerk terkenal dan hal ini biasanya dapat kita pelajari ketika kita melihat suatu tayangan iklan pada produk yang biasa mereka pakai. Maka tak heran jika kini banyak wanita dari kalangan biasa yang berbondong-bondong membeli barang-barang bermerk yang aspal (asli tapi palsu) agar terlihat seperti seorang wanita konglomerat. 

Itulah iklan. Ia selalu menggambarkan sesuatu yang tampak bagus di mata kita. Imej yang diproduksi olehnya yaitu kebahagiaan, keharmonisan, kecantikan, ketampanan, kejantanan, dan gaya hidup modern. Hal-hal inilah yang dapat kita jadikan sebagai sistem nilai yang dimiliki kelas dominan yang diedukasi dan ditanamkan kepada kelompok masyarakat.

Sumber Gambar :

http://www.mcbrublog.com/2012/09/11/making-the-most-of-your-online-advertising/
http://perlombaan.web.id/bakat/clear-hair-model-2012/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar