Selasa, 04 Desember 2012

Penyiaran Indonesia





Siang itu kelas Kapita Selekta kehadiran seorang lelaki, yang dari luar tampak biasa saja, namun semua mata terbelakak kaget ketika dia memperkenalkan dirinya. Beliau adalah Paulus Widiyanto, mantan anggota DPR yang adalah ketua panitia khusus pembahasan mengenai undang-undang mengenai penyiaran yang ada di Indonesia. Bagi kami mahasiswa ilmu komunikasi, beliau adalah sosok yang tepat untuk berbicara kepada kami, mengenai kondisi penyiaran yang terjadi di Indonesia.


            Siang itu beliau membawakan materi perkuliahan kepada kami mengenai latar belakang mengenai undang-undang penyiaran yang ada di Indonesia. Dia mengawalinya dengan memberikan secarik kerta kepada kami yang berisi istilah-istilah atau singkatan-singkatan yang berkaitan dengan penyiaran seperti kode etik jurnalistik (KEJ), lalu ada ijin penyelengaraan penyiaran (IPP), dan lain halnya. Dengan permainan tersebut, lelaki yang menjabat sebagai anggota dewan terhormat pada periode 1999-2003 tersebut ingin menguji kami mengenai pemahaman kami dalam dunia penyiaran. Dalam perkuliahan tersebut, beliau menyampaikan serta menunjukan pada kami undang-undang mengenai penyiaran tersebut.

            Dalam perkuliahan tersebut dia sedikit banyak membuka wawasan kami mengenai kondisi penyiarana yang ada di Indonesia. Ada satu pertanyaan yang menggelitik, bagaimana sesungguhnya kondisi penyiaran di Indonesia? Apakah sudah termasuk dalam kategori baik? Apakah semua pihak telah berusaha untuk menciptakan sebuah penyiaran yang baik bagi seluruh masyarakat Indonesia? Mari kita bahas.

            Pertama yang ingin disorot adalah acara-acara yang banyak mengekspeloitasi anak-anak di dalamnya. Salah satu stasiun televisi di Indonesia, menayangkan sebuah acara yang berisikan seorang bersama dengan ayahnya melakukan pertunjukan sulap. Anak tersebut menunjukan kebolehannya dalam mengolah kemampuan sulapnya bersama sang ayah. Dalam acara tersebut apakah sang anak masuk dalam korban eksploitasi? Lalu dalam acara-acara musik yang menjadi sebuah kewajiban bagi para stasiun televisi pada waktu pagi hari. Apa yang bisa kita lihat dari fenomena tersebut? Anak-anak tanggung yang berumuran anak sekolah (walaupun tidak ada yang memverifikasinya), apakah mereka tidak pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu? Sebuah pemandangan yang sangat memilukan hati.


            Lalu selanjutnya patutlah kita melihat kenyataan bahwa televisi di negara ini telah menjadi sebuah alat kampanye bagi segelintir orang. Banyak pihak yang memanfaatkan media yang kebetulan dia miliki berbarengan dengan sebuah institusi politik yang kemudian dia jalankan keduanya. Bukan sebuah pemandangan yang mengagetkan jika sebuah acara berita diisi dengan liputan mengenai kegiatan dari sebuah partai politik.

            Pertanyaan terbesar adalah apakah fungsi dari undang-undang tersebut telah maksimal? Jika melihat beberapa kasus yang terungkap mungkin dalam satu sisi undang-undang ini telah menjadi maksimal, namun pada beberapa hal undang-udang ini terlihat sangat meragukan, terutama dalam hal-hal di atas. Mungkin undang-undang tersebut telah maksimal, karena dibuat oleh orang-orang yang hebat di bidangnya, sedikit yang kurang mungkin adalah kesadaran dari para pihak yang menjalankan undang-undang tersebut, yaitu para peyelenggara siaran dan pengawasnya.