Siang
itu kelas Kapita Selekta kehadiran seorang lelaki, yang dari luar tampak biasa
saja, namun semua mata terbelakak kaget ketika dia memperkenalkan dirinya.
Beliau adalah Paulus Widiyanto, mantan anggota DPR yang adalah ketua panitia
khusus pembahasan mengenai undang-undang mengenai penyiaran yang ada di
Indonesia. Bagi kami mahasiswa ilmu komunikasi, beliau adalah sosok yang tepat
untuk berbicara kepada kami, mengenai kondisi penyiaran yang terjadi di
Indonesia.
Siang
itu beliau membawakan materi perkuliahan kepada kami mengenai latar belakang
mengenai undang-undang penyiaran yang ada di Indonesia. Dia mengawalinya dengan
memberikan secarik kerta kepada kami yang berisi istilah-istilah atau
singkatan-singkatan yang berkaitan dengan penyiaran seperti kode etik
jurnalistik (KEJ), lalu ada ijin penyelengaraan penyiaran (IPP), dan lain
halnya. Dengan permainan tersebut, lelaki yang menjabat sebagai anggota dewan terhormat
pada periode 1999-2003 tersebut ingin menguji kami mengenai pemahaman kami
dalam dunia penyiaran. Dalam perkuliahan tersebut, beliau menyampaikan serta
menunjukan pada kami undang-undang mengenai penyiaran tersebut.
Dalam
perkuliahan tersebut dia sedikit banyak membuka wawasan kami mengenai kondisi
penyiarana yang ada di Indonesia. Ada satu pertanyaan yang menggelitik,
bagaimana sesungguhnya kondisi penyiaran di Indonesia? Apakah sudah termasuk
dalam kategori baik? Apakah semua pihak telah berusaha untuk menciptakan sebuah
penyiaran yang baik bagi seluruh masyarakat Indonesia? Mari kita bahas.
Pertama
yang ingin disorot adalah acara-acara yang banyak mengekspeloitasi anak-anak di
dalamnya. Salah satu stasiun televisi di Indonesia, menayangkan sebuah acara
yang berisikan seorang bersama dengan ayahnya melakukan pertunjukan sulap. Anak
tersebut menunjukan kebolehannya dalam mengolah kemampuan sulapnya bersama sang
ayah. Dalam acara tersebut apakah sang anak masuk dalam korban eksploitasi?
Lalu dalam acara-acara musik yang menjadi sebuah kewajiban bagi para stasiun
televisi pada waktu pagi hari. Apa yang bisa kita lihat dari fenomena tersebut?
Anak-anak tanggung yang berumuran anak sekolah (walaupun tidak ada yang
memverifikasinya), apakah mereka tidak pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu?
Sebuah pemandangan yang sangat memilukan hati.
Lalu
selanjutnya patutlah kita melihat kenyataan bahwa televisi di negara ini telah
menjadi sebuah alat kampanye bagi segelintir orang. Banyak pihak yang
memanfaatkan media yang kebetulan dia miliki berbarengan dengan sebuah
institusi politik yang kemudian dia jalankan keduanya. Bukan sebuah pemandangan
yang mengagetkan jika sebuah acara berita diisi dengan liputan mengenai
kegiatan dari sebuah partai politik.
Pertanyaan
terbesar adalah apakah fungsi dari undang-undang tersebut telah maksimal? Jika
melihat beberapa kasus yang terungkap mungkin dalam satu sisi undang-undang ini
telah menjadi maksimal, namun pada beberapa hal undang-udang ini terlihat
sangat meragukan, terutama dalam hal-hal di atas. Mungkin undang-undang
tersebut telah maksimal, karena dibuat oleh orang-orang yang hebat di
bidangnya, sedikit yang kurang mungkin adalah kesadaran dari para pihak yang
menjalankan undang-undang tersebut, yaitu para peyelenggara siaran dan
pengawasnya.